Selasa, 07 Maret 2017

IBNU KULLAB DAN KONTROVERSI KEMAKHLUKAN BACAAN AL-QUR'AN

“Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti pendapatnya Abdullah bin Said bin Kullab, Abul Abbas al-Qalanasi, dan al-Haris al-Muhasibi. Mereka semua adalah pengikut Salaf dan berada di atas tuntunan Sunah.”
(Al-Allamah Ibnu Khaldun dalam karyanya, al-Muqaddimah, 835).

Imam Abdullah bin Said bin Kullab atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Kullab adalah salah seorang guru dan tokoh utama yang diikuti oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Pemikiran beliau banyak menginspirasi Imam Abul Hasan al-Asy’ari setelah bertaubat dari paham Muktazilah. Utamanya dalam pemaknaan terhadap sifat-sifat Allah.

Fakta bahwa setelah bertaubat dari madzhab Muktazilah Imam Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti pemikirannya Ibnu Kullab ini disepakati oleh Ahlusunah wal-Jamaah dan Wahabi. Hanya saja Wahabi tidak setuju apabila Ibnu Kullab disebut Ahlusunah dan bersikeras menuduhnya sebagai ulama Muktazilah karena dianggap tidak mengikuti manhaj-nya as-Salaf as-Shalih.

Tuduhan ini dijadikan dasar oleh mereka dalam menyesatkan pengikut madzhab Asy’ariyah. Sebab menurut mereka madzhab Asya’riyah hanya mengikuti pemikirannya Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang dipengaruhi oleh Ibnu Kullab.

Dengan demikian, pengikut madzhab Asy’ariyah bukanlah Ahlusunah, tapi merupakan bagian dari madzhab Kullabiyah yang tak jauh berbeda dengan sekte sesat Muktazilah. (Lihat Kolom Akidah edisi 98 tentang fase kehidupan Imam Abul Hasan al-Asy’ari).

Tentu saja kesimpulan ini tidak obyektif karena dibangun di atas premis-premis yang negatif dan memiliki tingkat subyektifitas yang tinggi. Mereka membuat suatu penilaian dan kesimpulan yang tidak didasarkan pada argumentasi ilmiah dan fakta sejarah yang benar. Penilaian mereka lebih banyak dilatarbelakangi ta’asshub (fanatisme) yang berlebihan terhadap Imam Ahmad bin Hanbal dan kelemahan mereka dalam menangkap makna yang tersirat dari sebuah kejadian.

Hal utama yang menyebabkan mereka bersikeras memvonis Imam Abdullah bin Said bin Kullab keluar dari manhaj as-Salaf ash-Shalih adalah karena beliau berbeda pandangan dan tidak sejalan dengan Imam Ahmad dalam masalah al-Quran.

Imam Ibnu Abdil-Barr menyinggung masalah ini dalam kitabnya, al-Intiqâ’, 165, ketika menulis biografinya Imam al-Karabisi.

“Antara al-Karabisi dan Ahmad bin Hanbal terjalin persahabatan yang erat. Namun ketika keduanya berbeda pendapat dalam masalah al-Quran, persahabatan itu berubah menjadi permusuhan. Masing-masing saling menyalahkan yang lain. Dalam hal ini, Ahmad bin Hanbal berkata, ‘Barangsiapa berpandapat bahwa al-Quran adalah makhluk, maka dia adalah orang Jahmi (Jahmiyah adalah aliran ekstrem dalam sekte Muktazilah). Barangsiapa berkata bahwa al-Quran adalah Kalamullah dan tidak menyebutnya makhluk atau bukan makhluk, maka dia adalah Waqifi. Dan barangsiapa berpendapat bahwa lafadznya al-Quran adalah makhluk, maka dia telah melakukan bid’ah.’ Sedangkan al-Karabisi, Abdullah bin Kullab, Abu Tsaur, Daud bin Ali, dan ulama-ulama lain yang seperiode dengan mereka berpendapat bahwa al-Quran yang di-kalam-kan oleh Allah merupakan bagian dari sifat-sifatnya Allah yang tidak mungkin diciptakan. Adapun bacaannya orang yang membaca al-Quran adalah usaha dan pekerjaannya, dan sudah maklum bahwa pekerjaannya makhluk adalah makhluk dan diciptakan oleh Allah. Bacaan al-Quran tadi statusnya menjadi hikâyah dari Kalamullah… Al-Hanbaliyah yang merupakan pengikut Ahmad bin Hanbal tidak mau menyapa dan meninggalkan Husein al-Karabisi. Mereka juga menyebutnya ahlul-bid’ah dan menjelek-jelekkannya. Perlakuan yang sama juga mereka berikan terhadap semua ulama yang se-pemikiran dengan al-Karabisi.”

Ya, gara-gara masalah ini Ibnu Kullab dianggap menyimpang dari ajaran generasi sebelumnya dan dituduh sebagai ahli bid’ah. Tentu saja tuduhan itu tidak benar. Karena yang berpendapat bahwa lafadz dan tulisannya al-Quran adalah makhluk bukan hanya beliau, tapi juga sejumlah besar pembesar para ulama yang sebagiannya sudah disebutkan oleh Imam Abdil-Barr di atas.

Di antara tokoh-tokoh ulama yang juga berpendapat sama dengan beliau dalam masalah al-Quran adalah Imam Bukhari, Muslim, al-Harits al-Muhasibi, Muhammad bin Nashr al-Marwazi, Muhammad bin Jarir ath-Thabari dan lain-lainnya.

Bahkan Imam Bukhari secara khusus menulis kitab “Khalqu Af’âlil-‘Ibâd” yang ditujukan untuk memperkuat pendapatnya tentang kemakhlukannya lafadz dan tulisannya al-Quran dan sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihi pendapatnya tersebut.

Pendapat ini mendapatkan pembenaran, dukungan, dan pembelaan dari ulama generasi berikutnya. Mereka mampu memberikan penilaian terhadap generasi shalih yang hidup sebeIum mereka dengan obyektif dan jauh dari pengaruh fanatik terhadap ulama-ulama tertentu.

Imam Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, ath-Thabaqât al-Kubrâ, II/13, “Pendapat yang benar dalam masalah lafzhul-Qur’ân adalah pendapatnya Imam Bukhari, karena semua makhluk yang bisa berpikir tidak ada satu pun yang meragukan bahwa apa yang dilafazhkan dan diucapkan oleh mereka merupakan bagian dari perbuatan mereka yang diciptakan (makhlûq) oleh Allah. Adapun Imam Ahmad yang mengingkari pendapat tersebut itu hanya karena beliau sangat tidak suka membahas permasalahan itu.”

Komentar senada juga diungkapkan oleh Imam Ibnu Katsir ketika menulis biografi al-Karabisi dalam Thabaqâtul-Fuqahâ’ asy-Syâfi’iyyîn, I/133. Imam Ibnu Katsir berkata, “Yang saya tahu adalah al-Karabisi berpendapat bahwa Kalamullah – ditinjau dari sisi manapun – bukanlah makhluk. Hanya saja lafadz dan bacaan al-Quran adalah makhluk, dan barangsiapa berkeyakinan bahwa lafazh dan bacaan al-Quran bukan makhluk berarti dia kafir. Pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Bukhari dan Daud bin Ali azh-Zhahiri. Sedangkan penolakan Imam Ahmad terhadap pendapat ini, karena untuk membuntu kemungkinan adanya pendapat bahwa al-Quran (Kalamullah) adalah makhluk.”

Dari uraian di atas dapat dipahami dengan jelas bahwa tuduhan kelompok Wahabi-Salafi terhadap Ibnu Kullab tidak benar. Apalagi tuduhan mereka bertolak belakang dengan kesaksian ulama-ulama panutan umat dari dulu hingga sekarang.

Di antaranya adalah kesaksian Ibnu Qadhi Syuhbah dalam karyanya, Thabaqâtusy-Syâfi’iyah, I/78, “Ibnu Kullab adalah teolog besar dan termasuk Ahlusunah. Ajaran beliau dan ajaran al-Harits al-Muhasibi diikuti oleh Abul-Hasan al-Asy’ari.”

Pernyataan Syeikh Syuaib al-Arna’uth, “Ibnu Kullab adalah Imam Ahlusunah di masanya dan menjadi rujukan utama mereka. Bahkan Imam al-Haramain dalam kitabnya, al-Irsyâd, menegaskan bahwa Ibnu Kullab termasuk Ashhâbinâ (pengikut madzhab kita).

Begitu juga kutipan al-Hafizh Ibnu Asakir dalam Tabyîn Kadzibil-Muftarî, “Kamu menuduh Ibnu Kullab sebagai ahli bid’ah, tapi kamu tidak pernah menceritakan satu pun kata-kata beliau yang berbau bid’ah yang bisa dijadikan dasar atas tuduhanmu. Kami tidak pernah tahu ada orang yang mengatakan beliau ahli bid’ah. Yang kami ketahui adalah beliau mengikuti tuntunan Sunah dan berhasil membantah akidahnya Jahmiyah dan golongan ahli bid’ah lainnya.“

Pernyataan ini dikutip dari isi surat yang ditulis Abdullah bin Abi Yazid al-Qayrawani – pemuka ulama madzhab Maliki di Maroko pada zamannya – sebagai balasan atas surat yang dikirimkan oleh ulama  Muktazilah yang bernama Ali bin Ahmad bin Ismail al-Baghdadi kepada para ulama di Maroko.

Ditulis Oleh: Ahmad Muntahal Hadi
(Direktur Annajah Center Sidogiri)
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Kolom Akidah majalah Sidogiri Media, edisi 99, Rabiul Awal 1436 H.
Semoga bermanfaat bagi umat Islam, wa bil khushush Ahlusunah wal Jamaah.

0 komentar:

Posting Komentar