KH. Abdullah bin Nuh (w. 1987), seorang ulama besar Nusantara asal Pasundan (Cianjur-Jawa Barat), sebagaimana tertuang dalam buku “Ulamâ wa Mufakkirûn ‘Araftuhum” (diterbitkan di Riyadh pada tahun 1989).
Al-Majdzûb benar-benar terkesan dan terbelalak oleh sosok KH. Abdullah bin Nuh, baik sosok pribadinya yang santun dan ramah, gagasan pemikirannya yang jenius dan lintas spektrum, dan utamanya oleh kemampuan bahasa Arabnya yang sangat sempurna.
KH. Abdullah bin Nuh menguasai susastra, estetika, dan retorika bahasa Arab (al-adab wa al-badî’ wa al-ballâghah al-‘Arabiyyah) di atas rata-rata, yang justru “mengalahkan kemampuan bahasa Arab orang-orang Arab sendiri”.
Dalam buku itu, sosok KH. Abdullah bin Nuh ditulis dalam 14 halaman (dari halaman 117 hingga 131). Termasuk di dalamnya wawancara al-Majdzûb dengan beliau, dan juga beberapa petikan bait puisi beliau dalam bahasa Arab yang berjudul “Indûnisiyyah” (Indonesia Pusaka).
Berikut saya terjemahkan salah satu petikan kesaksian Dr. Abdullah al-Majdzûb atas KH. Abdullah bin Nuh itu;
“Beliau (KH. Abdullah bin Nuh) sudah berusia tujuh puluhan. Perawakannya sedang. Senyumnya mengembang. Sorot matanya memancarkan kejeniusan akalnya dan keluhuran budinya. Pada janggutnya yang sudah memutih, tersirat kebijaksanaan, keutamaan, dan religiusnya.
Beliau menyambut kami dengan pelukan dan sambutan yang ramah nan hangat. Kami memulai perbincangan dalam pelbagai isu, seakan-akan kami telah dipertemukan dalam hubungan pertemanan yang akrab dan lama.
Beliau berbicara dalam bahasa Arab. Sangat lancar dan fasih. Pilihan-pilihan kosa-katanya selalu tepat dan dekat sehingga mudah untuk difaham. Perbincangan kami pun mengalir dalam bahasa Arab yang fusha, lempang, bersastra, dan beretorika.
Saya meminta beliau untuk menerjemahkan puisi-puisinya ke dalam bahasa Arab. Namun jawaban beliau sungguh mengejutkan; “Saya juga menulis puisi-puisi saya dalam bahasa Arab!”
Saya benar-benar terkejut ketika beliau membacakan beberapa puisi beliau. Benar-benar berbahasa Arab dan benar-benar sempurna. Saya hampir tak mempercayai kalau puisi-puisi yang baru saja beliau bacakan itu adalah anggitan seorang berbangsa Indonesia, seorang ‘ajam!
Puisi-puisi itu benar-benar merepserentasikan pengarangnya adalah orang yang menguasai bahasa Arab tingkat tertinggi, susastranya, estetikanya, dan retorikanya (al-bayân al-‘arabî al-balîgh). Beliau pasti sudah melahap dan menyerap ratusan puisi-puisi terbaik Arab sampai ia pun dapat benar-benar menghayatinya dan mencerminkannya dalam puisi-puisi karangannya sendiri”.
KH. Abdullah bin Nuh, yang lahir di Cianjur pada tahun 1905 dan wafat di Bogor pada 1987 adalah salah satu sastrawan, cendikiawan, pejuang, dan ulama besar Nusantara asal tatar Pasundan. Abdullah belajar dari pesantren ke pesantren di Sunda dan Jawa, juga belajar di Masjid al-Haram di Mekkah al-Mukarramah dan Al-Azhar Kairo sepanjang dekade tahun 1920-an.
Abdullah bin Nuh termasuk ke dalam bagian jaringan intelektual ulama Nusantara-Timur Tengah yang lazim di masa itu (abad ke-20 M). Di antara guru beliau selama di Mekkah adalah Syaikh Muhsin ibn Abdullah al-Musawa al-Fâlimbânî, Syaikh Alawi ibn Abd al-Aziz al-Maliki, Syaikh Muhammad Ali ibn Husain al-Makki, Syaikh Mahfuzh ibn Abdullah al-Tarmasi, Syaikh Mukhtar ‘Atharid Bogor, Syaikh Ahyad bin Idris Bogor, Syaikh Tubagus Bakri Purwakarta, dan lain-lain. Di sana, Abdullah bin Nuh segenerasi dengan KH. Abdul Wahhab Hasbullah Jombang (NU), KH. Abdul Halim Majalengka (PUI), KH. Sanusi Sukabumi, Syaikh Yasin Padang, dan lain-lain.
Beliau terkenal sebagai sosok yang produktif menulis. Karya-karyanya selain yang ditulis dalam Bahasa Indonesia, juga banyak yang ditulis dalam bahasa Arab. Yang mengagumkan, Abdullah bin Nuh memiliki kemampuan bahasa Arab yang sempurna, benar-benar sempurna, baik dalam rupa puisi (syi’r) atau pun prosa (natsr).
Di antara karya momumental beliau yang ditulis dalam bahasa Arab adalah “Anâ Muslim Anâ Sunnî Anâ Syâfi’î” tentang teologi Islam (pada tahun 2016 ini [kembali] diterbitkan oleh penerbit Dâr al-Shâlih Kairo), al-Islâm fî Indûnisiyyâ al-Mu’âshirah tentang sejarah Indonesia kontemporer, Târîkh al-Auliyâ al-Tis’ah tentang sejarah Wali Sanga, al-Imâm al-Muhâjir Ahmad ibn ‘Îsâ ibn Ja’far al-Shâdiq (biografi misionaris Islam Nusantara masa-masa awal), al-Tadzkirah fî Mukhtashar Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn (dalam bidang tasawuf), Dîwân Syi’r Abdullâh ibn Nûh (kumpulan puisi), termasuk kumpulan puisi yang disunting dan dikaji oleh al-Sa’dânî ini (‘Âsyiq al-Muhîth wa al-Jabal).
Beliau dikebumikan di kota Cianjur, tepatnya di Gentur. Setiap tahun selalu diadakan haulan, yang datang dari berbagai pelosok negeri tatar sunda, jawa tengah atau timur bahkan sumtera dan kalimantan.
0 komentar:
Posting Komentar